Shafwatul Bary Tuanku Imam
Minangkabau (Sumatera Barat, Indonesia) adalah negeri yang sangat menjunjung tinggi dan menghargai hak-hak perempuan, terbukti dengan sistim adat matriarchal yang menjadi acuan dalam beberapa gerak-gerik masyarakat beradat. Wacana feminisme, dan peduli hak-hak perempuan, sejak lama sudah mengakar dan terpraktek secara massif di negeri ini. Namun, sebagai suatu sistem adat yang digagas oleh para leluhur dengan penuh kebijaksanaan dan pertimbangan yang matang –bahkan jelimet–, melihat dan memahaminya tidak bisa hanya menggunakan kaca mata aktual-empiris semata, tapi menggunakan kaca mata “hikmah” dan “akibat”. Sehingga, untuk memahami sistim matriarkal Minang ini menyaratkan kearifbijaksanaan.
Ulama (tokoh agama), merupakan salah satu pondasi penting keberlangsungan hidup masyarakat madani di Minangkabau, otoritasnya dipegang tiga unsur sekaligus, sebuah adagium filosofis Minang menyebut “Tungku Tigo Sajarangan, Tali Tigo Sapilin” (Tungku itu harus tiga sejerangan, dan tali harus tiga dalam seikatan). Tiga unsur yang dimaksud di sini adalah (1) Ninik-Mamak atau tokoh adat, (2) Alim ulama atau tokoh agama, (3) Cerdik-Pandai atau tokoh yang berilmu dan berwawasan luas tentang segala hal. Jadi, ulama mempunyai peran yang sama pentingnya dengan tokoh adat dalam semua urusan kemasyarakatan di Minang, begitu juga tentang kepedulian atas hak-hak perempuan.
Adalah seorang ulama kharismatik di Minang, Syekh H. Ali Imran Hasan Tuanku Mudo (1926-2017), atau yang lebih akrab disapa “Buya Ringan-ringan” di Padang Pariaman, Sumatera Barat, Indonesia. Sebagai ulama penyandang gelar “Tuanku” yang notabene adalah gelar keulamaan terlegitimasi adat, Buya Ringan-ringan juga sangat menjunjung tinggi norma-norma adat. Terkait posisi perempuan dan hak-haknya, Buya Ringan-ringan memiliki pandangan yang unik dan nyaris jauh berbeda dengan ulama-ulama sebelum dan semasanya, terkhusus di Padang Pariaman. Beberapa contoh kasus yang akan dikemukakan di sini adalah;
Pertama, tidak membeda-bedakan perempuan untuk dijadikan isteri. Buya menikah pada usia 31 tahun, usia remaja sampai 31 beliau habiskan untuk menuntut ilmu agama dan mengajarkannya. Tercatat, selama satu dekade terakhir sebelum menikah, beliau habiskan di Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Di Pariaman kala itu, sosok Tuanku/ulama adalah sosok menantu dan suami idaman. Banyak orang tua yang punya anak gadis mengidam-idamkan menantunya seorang Tuanku/ulama. Bahkan, para orang tua anak gadis, ada yang ingin mendapat Tuanku/ulama hanya untuk mendapat keturunan darinya saja. walaupun setelah berketurunan, si tuanku/ulama akan meninggalkan isteri dan anaknya itu. Mereka menyebutnya: “asa lai jo tuanku, ka tampang je jadih e nyeh” (asalkan dapat Tuanku/ulama, untuk mendapat bibitnya saja sudah cukup). Dengan kondisi social masyarakat seperti itu, tidak heran kalau banyak tuanku/ulama di Pariaman selektif dalam memilih perempuan untuk dijadikan isteri. Namun tak berlaku bagi Buya Ringan-ringan. Pengakuan ayah beliau, memang sudah ada 38 anak gadis yang ingin dipinangkan kepadanya saat itu. Tapi, beliau menikah dengan Azal Manis (1939-1998). Keluarga Azal Manis meminang beliau saat beliau masih di Malalo. Terbentang jarak 85 km antara Ringan-ringan dan Malalo. sehingga, tidak mudah bagi beliau pulang ke Ringan-ringan jika hanya untuk melihat seperti apa rupa gadis yang akan beliau nikahi. Pesannya kepada ayahnya, kalau mau mencarikan isteri, cukup yang mau taat beragama bersama. Tidak harus cantik, kaya, keturunan orang terpandang dan mempunyai ilmu agama. Karena bagi beliau, “cantik” hanyalah sudut pandang orang melihat, “kaya” lebih baik jika didapat bersama, “keturunan orang terpandang” lebih baik diciptakan, bukan didapatkan, dan “mempunyai ilmu agama” bisa beliau berikan. Dan akhirnya pilihan sang ayah jatuh ke Azal Manis. Pernikahan dengan Azal Manis dilakukan di Ringan-ringan tanpa kehadiran beliau. Saat itu beliau masih sibuk mengajar di Malalo, dan Ijab Kabul pun diwakilkan ke ayah beliau. Beberapa hari setelah pernikahan, barulah pulang untuk melihat seperti apa rupa gadis yang telah sah jadi isterinya.
Kedua, Isteri sebagai teman diskusi. Setelah beberapa tahun menikah, Buya Ringan-ringan dan Umi Azal Manis dikaruniai tiga orang anak laki-laki, tiba-tiba Umi pun meminta kepada Buya untuk didoakan agar anak keempat dan seterusnya berjenis kelamin perempuan. Sedikit keberatan dan mencoba bernegosiasi dengan Umi, Buya bertanya “Kenapa perempuan? Bukankah laki-laki lebih baik?” Menurut Buya, ketika itu, anak perempuan itu adalah amanah yang sangat berat buat orang tuanya, karena aurat perempuan yang harus dijaganya lebih banyak dari laki-laki, penjagaan dan pendidikannya juga membutuhkan perhatian ekstra. Keberathatian Buya untuk mendapat anak perempuan bukan karena stereotip terhadap perempuan, tapi justru karena terlalu berharganya seorang perempuan dalam agama dan adat Minang. Sehingga, sekaliber Buya Ringan-ringan yang notabene juga ulama beradat, khawatir tak akan amanah menjaganya. Negosiasi Buya Ringan-ringan dan Umi pun berlanjut. Argumen Buya dibantah Umi dengan pernyataan bahwa kelak di usia senja, justru anak perempuan lah yang akan merawat dan memperhatikan orang tuanya, sedangkan anak laki-laki akan sibuk dengan keluarga barunya. Pandangan Umi ini adalah pandangan umum masyarakat Minang dari dulu sampai sekarang. Mendengar bantahan Umi, Buya terenyuh dan mengiyakan pendapat Umi. Sejak negosiasi itu berakhir, Buya selalu berdoa kepada Allah agar anak yang keempat dan seterusnya berjenis kelamin perempuan.
Mayoritas ulama di Pariaman saat itu seolah sepakat bahwa perempuan adalah sumber dosa dan pembawa kepada keburukan. Membantah tesis para ulama saat itu, Buya Ringan-ringan yang mempunyai anak perempuan memberi nama anak-anak perempuannya dengan Muzilatunil Isma dan Imalatunil Khaira. Nama pertama berarti “si penghilang dosa”, dan yang kedua berarti “yang cenderung kepada kebaikan”. Melalui dua nama anak perempuannya itu, Buya ingin memberitahu kepada khalayak bahwa anak perempuannya adalah orang-orang yang akan menghilangkan dosa dan yang akan membawa orang-orang kepada kebaikan.
Ketiga, selalu memprioritaskan isteri. Sebagai ulama dan da’i kondang, Buya Ringan-ringan tak jarang harus bepergian berhari-hari untuk berdakwah. Menurut pengakuan beliau, kala itu belum ada sarana komunikasi yang canggih dan instant seperti hari ini, setiap sebelum berangkat dakwah jauh, beliau selalu meninggalkan catatan jadwal dan tempat berdakwah kepada Umi. Ini dilakukan agar Umi tahu setiap harinya Buya berada di mana dan Buya di sana sampai kapan. Buya sangat mendisiplini catatan itu. Suatu ketika, karena sangat kecanduannya audien mendengar ceramah Buya, mereka ingin meminta Buya agar menambah jadwal perjalanan satu hari lagi agar bisa berceramah di tempat mereka. Buya menolak dengan alasan bahwa catatan yang sudah ditinggalkan kepada Umi adalah catatan awal. Sehingga tidak bisa dilanggar dan diubah-ubah. Bagi Buya, konsekuensi itu merupakan sebuah tindakan menjaga kepercayaan isteri. Bukti disiplin Buya dengan catatan tersebut selanjutnya adalah, suatu ketika, Buya sedang berceramah di sebuah surau di daerah Malalo. Dengan bermodal kepercayaan kepada catatan suami, Umi menyusul Buya ke surau tempat Buya berceramah. Melihat kedatangan Umi, Buya tersipu malu. Suara keras yang keluar ketika sedang berceramah pun berubah jadi lemah lembut. Dan karena tak ingin Umi menunggu lama, Buya segera mengakhiri ceramahnya. Para audien yang sedang kehausan akan ceramah Buya jadi mengerti sendiri kenapa Buya yang biasanya tahan berceramah dari bakda Isya sampai Subuh harus mengehentikan ceramahnya tak lama setelah kedatangan Umi. []