Raihannisa Azizah | Business Administration
Manusia cenderung mengagungkan hubungan mereka dengan individu lainnya,karena kodratnya sebagai makhluk sosial. Menjadi terobsesi dengan menjadi sosok yang baik dan dapat disenangi semua orang bukanlah hal baru. Mulai dari tutur kata, bahasa tubuh, gaya berpakaian, dan lain lain bisa diatur mati-matian agar dapat diterima oleh orang lain. Nggak ada yang salah ‘kok dari semua itu. Lalu, bagaimana dengan hubunganmu dengan dirimu sendiri? Apakah kamu bisa menyukai dirimu sendiri? Apa kamu bisa mengapresiasi dirimu sebagaimana kamu mengapresiasi orang lain?
Kamu punya presentasi besar untuk suatu matkul besok. Persiapan demi persiapan, jutaan detik terpakai hanya untuk berlatih dan menyempurnakan presentasimu. Namun, pada saat hari H, tiba tiba rasa tegang itu tidak terbendung, dan kamu melakukan sedikit kesalahan saat presentasi di depan teman teman. Dalam otakmu muncul makian untuk dirimu sendiri, “ Duh, bego banget sih.. Gitu aja salah,” atau mungkin pada saat mendapatkan pujian dari temanmu, kamu menjawabnya dengan “ Iyaa, makasih tapi aku harusnya bisa lebih baik lagi,”
Pernah berada dalam situasi yang kira-kira seperti ini? Mungkin pernah ya. Tapi, kamu pernah sadar nggak, kalau perilaku kita terhadap diri sendiri itu terkadang jauh lebih kasar dibandingkan terhadap orang lain? Kita bisa dengan mudah mengkritisi diri sendiri dengan kata-kata yang “nggak disaring”, sedangkan kalau mau menyampaikan kritik pada orang lain, pasti kita berpikir seribu kali sebelum akhirnya kita lontarkan. “Kira- kira kalau ngomong begini, dia merasa tertekan nggak ya? Dia sakit hati nggak ya?” Faktanya, beberapa dari kita sangat jarang- bahkan mungkin nggak pernah melakukan asesmen seperti ini terhadap diri sendiri sebelumnya.
Berdasarkan Dr. Kristin Neff, seorang peneliti dan professor Psikologi asal Amerika Serikat, cara suatu individu bertuturkata pada dirinya sendiri mempunyai bagian yang vital dalam menentukan tingkat kebahagiaan dan kenyamanannya terhadap diri. Nggak usah khawatir, kecenderungan harsh-unfiltered self criticism itu bisa diperbaiki. Kunci dari nggak mendengarkan si inner critic itu ada di self-compassion. Mulai dari situ, kita bisa memupuk self-acceptance pada diri sendiri dan meningkatkan kebahagiaan dan kenyamanan kita!
Sebelum kita telaah lebih dalam lagi, sebelumnya kita harus tau dulu apa yang dimaksud dengan self-compassion. Self-compassion artinya berbaik hati, lembut, dan pengertian kepada diri sendiri; menerima bahwa kita tidak sempurna; dan memahami bahwa dari setiap kesalahan yang kita perbuat, ada kesempatan dan potensi untuk belajar dan tumbuh menjadi individu yang lebih baik lagi (Neff, 2003). Self-compassion dapat dimengerti dengan memahami bahwa kita harus mengedepankan diri sendiri sebelum orang lain, tentu saja bukan dengan cara yang egois.
Sudah mengerti arti self-compassion? Good job! Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana caranya kita bisa berdamai dengan inner critic kita? Satu hal yang harus kamu pahami, dengan self-compassion, kita bisa menjadi lebih aware dengan segala kekurangan yang kita miliki tanpa harus menghukum diri sendiri dan menyembunyikan kekurangan tersebut. Fun fact, menurut riset Dr Kristin Neff, ada korelasi positif antara self-compassion dan peningkatan kesehatan mental serta level kepuasan hidup. Siapa sih, yang nggak mau punya kondisi kesehatan mental dan kepuasan hidup yang lebih baik? Yuk, pelan pelan kita pahami 4 cara untuk melatih self-compassion!
- Belajar Memaafkan
Siapa yang harus kita maafkan? Tentu saja diri sendiri! Banyak dari kita yang cenderung menghukum diri sendiri atas kesalahan; besar atau kecil, yang kita perbuat. Maka dari itu, pahamilah dan terimalah fakta bahwa kita itu nggak sempurna, dan coba untuk lebih lembut saat menghadapi kekurangan kita. Ingatlah kalau keluarga, teman, dan orang-orang di sekitarmu itu menghargai dan menyayangimu karena you are you, bukan karena kamu nggak pernah berbuat salah.
Satu hal yang bisa kita lakukan agar terus ingat bahwa we are worthy, bahkan disaat kita merasa tidak ada satupun dari diri kita yang dapat dibanggakan adalah dengan menulis sticky note di meja belajar atau memasang wallpaper hp dengan pesan pengingat untuk berbaik hati dan berlemah lembut terhadap diri sendiri.
“There is no sense in punishing your future for the mistakes of your past. Forgive yourself, grow from it, and then let it go. “ – Melanie Koulouris
2. Memiliki growth-oriented mindset
Growth-oriented mindset berarti mempunyai persepsi bawha tantangan tantangan hidup merupakan kesempatan untuk menjadi individu yang lebih baik lagi. Rasa ingin membandingkan diri dengan orang lain secara negatif dan mengkritik diri sendiri pasti ada, apalagi saat dihadapkan dengan tantangan. Tapi jangan lupa untuk mengingat bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, bawha kamu punya jalan hidupmu sendiri, dan terus fokus pada tujuan akhirmu.
3.Mengekspresikan rasa syukur
Manusia memang kodratnya selalu merasa kurang. Padahal, menyukuri apa yang kita miliki daripada fokus dengan apa yang tidak kita miliki itu punya impact yang baik bagi diri, loh. Kalau sedang merasa berkekurangan, coba diam sejenak dan amati sekeliling. Tulis apa saja hal yang kamu punya dan kamu syukuri. Nggak ada salahnya kok untuk bersyukur!
4. Be Mindful
Menurut Professor Kabat-Zinn, pendiri Stress Reduction Clinic and the Center for Mindfulness in Medicine, Health Care, and Society di University of Massachusetts Medical School, Mindfulness punya pengaruh positif dengan self-compassion. Kenapa? Karena dengan menjadi mindful, kita bisa mengurangi tendensi untuk menjadi judgmental pada diri sendiri. Apapun yang kamu rasakan, alami, dan pikirkan saat ini itu valid, bahkan saat kamu tidak tau persis perasaan apa yang kamu rasa.
Semoga 4 cara untuk melatih self-compassion ini bisa menjadi bahan pertimbangan dan berguna untuk kamu. Nggak pernah ada kata terlambat untuk berbaik hati pada diri sendiri. Let us thrive to be a better human being, especially towards the one person that will always be with us. Yes, our own self.