Mufti Perdana Avicena | Materials Science
Jika diteliti, majunya ilmu pengetahuan berdampak pada cara pandang kita melihat masa depan, semakin hari semakin jernih. Melalui matematika dan fisika, alam bukan lagi sebuah misteri. Gempa bumi dapat diketahui berjam-jam, bahkan berhari-hari lebih dulu, hasil pemilihan umum dapat ditentukan sebelum dihitung dengan diskrepansi yang hanya sepersekian persen. Manusia tak lagi tunduk pada masa depan dan sepertinya tren ini akan terus mengalami peningkatan seiring waktu. Kita terobsesi dengan masa depan yang tampak begitu jelas melalui model-model canggih matematis ilmu statistika yang dapat dikatakan sebagai jin jaman baru dan dukunnya adalah ahli statistik. Seringkali kesadaran kita dimonopoli oleh teknologi canggih sehingga kita tidak menimbang secara proporsional aspek-aspek pendukung.
Tanpa memiliki pertimbangan yang utuh, perkembangan sains dan teknologi di Indonesia terancam buta arah. Teknologi berkembang karena kebutuhan masa depan, namun juga dapat dilihat sebagai penyelesaian dari masalah yang muncul di masa lampau. Bukan tidak mungkin ketika kita menimbang kebutuhan itu, entah itu dari aspek sosial maupun budaya tidak melalui proses pematangan yang cukup sehingga pengaplikasian dari teknologi itu tidak mendapat tempat dalam masyarakat. Bukan karena penolakan–justru kita hanya nrimo–tapi hanya karena belum mampu saja. Orang bilang “common mistake”.
Perspektif dan pendidikan
Lalu, perspektif masyarakat terhadap sains yang hanya sebagai produsen teknologi, bukan teknologi sebagai akibat dari sains menimbulkan sebuah pemahaman bahwa sains hanya berguna ketika bisa diaplikasikan. Padahal, sains merupakan fondasi dalam kehidupan riil seperti layaknya agama dalam kehidupan spiritual. Sains tidak menuntut pengaplikasian, tetapi aplikasi itu sendiri yang muncul akibat sebuah ilmu baru dalam sains. Ini yang perlu diubah sehingga hasil proses teknologi tidak menjadi satu-satunya bahan rujukan, mengalpakan sains sebagai sumber dasarnya.
Di sinilah pendidikan menjadi solusi terbaik. Walaupun di Indonesia, menurut penulis, belum optimal. Mau tidak mau sistem pendidikan kita harus dibenahi juga. Sistem pendidikan di Indonesia masih menitikberatkan pengaplikasian dan tidak mengindahkan pemahaman yang utuh terhadap sebuah konsep. Terlihat dari kebiasaan pelajar menghapalkan rumus, dan pengertian dari buku tanpa paham betul konsep yang hadir di situ. Pengaplikasian melangkahi sehingga pemahaman konsep menjadi terbengkalai. Salah satu akibatnya adalah terciptanya mental instan pada diri pelajar. Mungkin, jika ada perombakan sistem yang kemudian menitikberatkan pemahaman konsep yang lebih utuh, Indonesia akan kedatangan sebuah gelombang ilmuwan-ilmuwan agung dari rahimnya. Ilmuwan-ilmuwan yang mampu melihat menembus dinding disiplin ilmu sehingga teknologi yang muncul adalah teknologi yang betul-betul dibutuhkan dan mampu digunakan oleh rakyat.
Teknologi yang tepat sasaran lalu dapat menjadi sebuah faktor pendorong kemajuan ekonomi. Jika konsep sudah dikuasai, tinggal metode penggunaannya saja yang perlu disesuaikan merujuk pada konsep dasar tersebut. Penguasaan teknologi menjadi lebih cepat, dan produksi bisa langsung berjalan. Masyarakat lebih mandiri dan lebih siap mengusung inovasi-inovasi baru.
IR 4.0 dan kembali mengenal diri
IR 4.0. ruang diskusi publik dewasa ini diwarnai dengan Internet of Things (IoT), Cyber-physical System (CPS), dan segala komponennya. Indonesia sangat girang ingin ikut serta dalam proses revolusi ini, padahal ia tidak tahu apakah kapasitasnya sebagai seorang pendayung atau seorang penumpang. Matanya silau oleh keindahan hari esok dimana Indonesia sudah tidak lagi butuh seorang akuntan, juru arsip, atau pekerja kasar.
Sekilas, IR 4.0 terlihat begitu mentereng. Perlu dikaji seberapa baik ia bagi Indonesia? Apa yang perlu dikorbankan? Apa efek jangka panjangnya? Jangan sampai, semakin ke sini Indonesia justru mempertahankan status quo dimana perannya cenderung sebagai konsumen. Terlihat seperti apa yang terjadi pada Indonesia di Information Age ini. Masuknya teknologi televisi dan internet yang justru semakin menyeret Indonesia ke jurang konsumerisme melalui sinetron yang menampilkan gaya hidup mewah, iklan-iklan dari pasar-pasar elektronik, youtube dengan konten reviewnya, dan banyak lagi. Akibatnya, materi menjadi tolok ukur kesuksesan hidup, melebarkan jurang antara si kaya dengan si miskin dan nilai-nilai tradisi kekeluargaan terkikis karenanya. Tentu perlu ditimbang apakah pengorbanan itu sama berat dengan keuntungan yang kita dapat?
Solusi selalu ada dalam sejarah, tinggal kita saja yang perlu menyesuaikannya. IR 4.0 mau tidak mau akan menimbulkan efek kaget dalam masyarakat jika kita tidak siap secara budaya maupun secara infrastruktur. Di sinilah pentingnya kita kembali menilik sejarah dan mengkajinya sambil menguji prospek IR 4.0. Menganalisa efek revolusi industri sebelumnya dalam berbagai aspek, konteks lokal, maupun global. Bukan hanya di kota, juga desa. Bukan hanya bagi pelaku industri besar, juga UMKM. Dengan begitu, kita akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh dalam meracik peta jalan bagi Indonesia pre-IR 4.0 dan pasca-IR 4.0. Dengan kata lain, kembali mengenal diri.