Fariza Rachman
Gundhul gundhul pacul cul, gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul kul, gembèlengan
Wakul ngglimpang segané dadi sak latar
Wakul ngglimpang segané dadi sak latar
Gundul-gundul pacul, sebuah lagu anak-anak yang disebut-sebut sebagai karya Sunan Kalijaga (1460-1513 M) yang cukup dikenal di Jawa. Betul, ia lebih dikenal sebagai lagu anak-anak karena secara ritme dan nadanya pun mempunyai ciri khas lagu anak, ringan dan bersemangat. Sebagai orang Jawa, saya pun lumayan menikmatinya waktu kecil.
Tetapi nampaknya, lagu itu bukanlah murni lagu anak-anak. Ia memang sangat kapabel dijadikan sebagai lagu hiburan, tapi perlu diingat kembali bahwa lagu ini diciptakan oleh seorang wali. Adakah mungkin bahwa ditengah-tengah kesibukan dan tantangan memperkenalkan Islam di tanah peradaban kerajaan Jawa kala itu, tiba-tiba ia menarik diri hanya untuk membuat lagu anak-anak?
Mengikut istilah kids zaman now, mungkin inilah yang bisa saya sebut sebagai The Kalijaga Code. Lagu ini, menurut Abdul Ghofur (2018) dalam tulisannya, “Kepemimpinan dalam Tembang Gundul Pacul”, ternyata bermakna akan pentingnya budaya malu dikalangan pemimpin apabila tidak berlaku menyejahterakan rakyatnya. Ia mungkin bermahkota, tapi tanpa kehormatan. Maka, kiranya tak berlebihan apabila saya menyebutnya sebagai suatu masterpiece persandian yang apik, mengingat pesan mendalam tersebut ternyata terkandung dalam lagu yang selama ini dirasakan sebagai lagu anak-anak.
Ini baru code lagu Gundul-gundul Pacul, belum code-code tembang lain seperti Lir-ilir, permainan Gobak Sodor yang melatih kejujuran ketika tak seorang pun melihat, gamelan yang ternyata merupakan instrumen musik paling rumit di dunia dan lainnya. Ini pun juga baru dari Jawa. Saya yakin, Sunda, Madura, Batak, Dayak, Betawi, Minang dan lainnya juga memiliki warisan code-code lain yang Insya Allah juga sangat kaya akan nilai-nilai fundamental untuk bekal hidup. Bersyukur, kita dilahirkan di tanah Nusantara. Bisa saling belajar, bisa saling berhasil.
Pendaran spektrum yang luas akan pemahaman kode-kode filosofi hidup kejawen ini agaknya juga tersirat dalam makna sandang pada segitiga kebutuhan “Sandang-pangan-papan”. Sandang artinya pakaian, pangan artinya makanan, sedangkan papan artinya tempat tinggal. Dua hal yang menjadi fokus dalam tulisan ini, adalah dari perspektif makna sandang itu sendiri dan urutannya yang terletak di paling awal.
Menilik pada tembang Gundul-gundul Pacul, telah diwanti-wanti bahwa hakikat seseorang pemimpin ternyata kurang valid apabila dilihat dari mahkotanya, jabatannya atau apapun yang dapat dilihat secara fisik. Pemimpin dikatakan pemimpin, apabila ia terus berusaha untuk menyejahterakan rakyatnya, bahkan pun apabila ia tak memiliki jabatan formal apapun dalam masyarakatnya. Maka inilah ‘kehormatan tanpa mahkota’, segumpal makna dan maksud yang terkandung dalam lagu tersebut. Ini menyiratkan, bahwa makna ‘pakaian’ pada orang Jawa pada masa silam, bisa jadi tak selalu kasat mata (mahkota), tetapi ada juga ‘pakaian’ yang tak kasat mata (kehormatan).
Lebih jelas terlihat lagi dalam tembang Lir-ilir yang kurang lebih berarti sebagai ‘bangunlah’. Juga dibuat oleh Sunan Kalijaga sekitar tahun 1478 M, ia dikenal sebagai lagu tradisional yang bercerita mengenai suasana pedesaan. Sangat syahdu apabila didengarkan sambil makan lalapan di gubug sawah nan asri. Pada lagu tersebut, ada bait yang berbunyi:
Dodot iro, dodot iro | Pakaianmu, pakaianmu
Kumitir bedah ing pinggir | Yang terkoyak pada bagian samping
Dondomono, jlumatono | Jahitlah, jagalah
Kanggo sebo mengko sore | Untuk dipakai pada sore nanti
Penelitian Munawar J. Khaelani (2014) menggarisbawahi bahwa kata dodot iro dalam bait tersebut yang berarti ‘pakaian’ ternyata melambangkan perumpamaan hati dan kepercayaan pada Tuhan. Dalam kitab Wulangreh, Sri Susuhanan Mangkunegara IV mengatakan bahwa agama ageming aji atau agama adalah ‘pakaian yang harus dirawat’. Sunan Kalijaga sebagai pencipta lagu ini pun terilhami dari pemikiran tersebut. Maka menurutnya, jika ‘pakaian’ kita robek, ia harus dijahit kembali sehingga dapat kembali utuh, setelah itu dijaga agar jangan sampai rusak bahkan hancur. Potensi ungkapan agama ageming aji, juga linier dengan ayat-Nya yang dengan terbuka mengatakan bahwa pakaian terbaik manusia adalah pakaian takwa (QS Al-A’raaf: 26).
Makna mendalam lain dari ‘pakaian’ sebagai kehormatan dan harga diri seseorang juga kembali muncul dalam tembang Jawa, Popok beruk keli. Ini belum dari tembang, pepatah atau peribahasa yang lain. Maka menurut saya, menjadi logis apabila penafsiran makna ‘pakaian’ dalam segitiga Sandang-pangan-papan dalam benak orang Jawa pada masa itu adalah lebih dari sekadar pakaian yang menutupi anggota tubuh secara fisik. Lebih dari itu, ia juga berarti sebagai kehormatan, harga diri, bahkan tingkat ketakwaan seseorang terhadap Tuhan.
Adapun letak daripada sandang itu sendiri berada di paling awal, ia berada sebelum pangan dan papan. Ini, jelas berbeda bahkan berkebalikan dengan segitiga 5 (lima) kebutuhan hierarkis kondang oleh Abraham Maslow (1954). Dimana kebutuhan fisiologis seperti makan dan minum (pangan) diletakkan pada urutan terawal, setelah itu barulah manusia mencari kebutuhan lain seperti kehormatan, harga diri, kepercayaan diri, dan sejenisnya (urutan ke 4).
Maka berdasarkan dari segitiga tersebut, akan linier, bahwa segala hal yang menyangkut mengenai kehormatan, harga diri, bahkan ketakwaan seseorang pada Tuhannya, tampaknya, harus dipenuhi lebih dulu, barulah kemudian ia berhak menerima rezeki berupa makan, minum atau kebutuhan-kebutuhan konsumtif lainnya, hingga tempat tinggal.
Tersirat pada peradaban Jawa kala itu, semacam kekhawatiran akan hilangnya, bahkan dikorbankannya rasa malu, kehormatan, harga diri, dan bahkan ketakwaan dalam diri seseorang hanya untuk sekadar bertahan hidup.
Seseorang mungkin bisa hidup atau menghidupi keluarganya, tetapi makan dari harta yang bukan hak-nya. Dengan lahap ia bisa makan dan minum, tapi semata-mata dihasilkan dari ketergantungan untuk terus menjilat sang pemilik modal. Ia dapat dengan leluasa membeli kemewahan, dengan memperoleh upeti dari jasa penjualan aset-aset asas bagi orang banyak. Atau dengan mudah ia meninggalkan negeri kelahiran yang sangat dinantikan pertolongannya, demi menjaga kenyamanan dan gaya glamour yang terlanjur ia rasakan.
Dan bukankah ini yang menjadi akar permasalahan bangsa ini hingga nanti (apabila belum ada perubahan)? Bahwa negeri ini masih dijalankan oleh orang yang lebih memilih kenyang meskipun dijadikan budak daripada lapar tapi bertahan harga dirinya (Ainun, 1953). ‘Budak’ disini pun kelihatannya juga memiliki arti yang meluas, budak harta, jabatan, sekarang ada budak kenyamanan, budak gelar, pengakuan, gaji tetap, gaji besar dan lain seterusnya. Dan sebaliknya, keistimewaan rasa lapar juga cukup terang tertulis dalam butir ke-4 tembang Jawa Tombo Ati atau obat hati karya Sunan Bonang (1465-1525 M), yang harus saya akui belum bisa saya bahas dalam artikel ini lagi-lagi karena kedalaman maknanya.
Sebongkah makna dari sandang-pangan-papan inilah, yang merupakan representasi kekhawatiran dari nenek moyang peradaban Jawa kala itu untuk kita. Sebuah warisan yang sangat luhur, yang justru (barangkali) kita anggap sebagai peradaban kuno, terbelakang, gak gaul bahkan telah tertuduh tak mengikuti perkembangan zaman. Tak terkecuali pada warisan-warisan nenek moyang kita dari Sunda, Madura, Batak, Dayak, Betawi, Minang dan lainnya.
Pun tak perlu kita tunjuk menunjuk siapa ‘seseorang’ yang dimaksud dalam paragraf sebelumnya, karena bisa jadi, benih-benih hitam itu sudah ada dalam diri kita.
Tulisan ini juga tak hendak mematahkan pemahaman akan pentingnya mencari rezeki dalam hidup. Sebagai penulis, saya pun juga memerlukannya untuk penghidupan nanti. Tentunya termasuk kebutuhan dasar seperti makan, minum dan tempat tinggal.
Hanya saja, alangkah lebih baik apabila jalan rezeki yang dipilih itu adalah pemeliharaan kemesraan kita kepada-Nya, penjagaan akan kehormatan dan harga diri, keluarga hingga bangsa kita. Barulah dengan itu, sang maha kaya berkenan meminjamkan rezeki-Nya dengan penuh kepercayaan kepada kita. Inilah jalan rezeki yang diridhoi oleh-Nya, yang akan memberikan manfaat sejati berupa keterjaminan akan berkah dan rahmat sampai sepanjang hidup. Jalan rezeki yang senantiasa diterangi lampu-lampu kesyukuran sehingga menjaga ketentraman hati.
Walaupun harus diakui, bahwa jalan ini mungkin tak secepat jalan tol dalam mengantarkan pada kenikmatan atau tak semulus kereta cepat dalam memberikan kemewahan. Ia mungkin akan tampak seperti jalan setapak yang jauh dari ingar-bingar dunia.
Tapi sekali lagi, kesia-siaan hidup bagi orang yang bergelimang harta namun diliputi rasa takut akan kekurangan, takut untuk dicuri, takut untuk dikalahkan, takut sudah mendapatkan yang ini tapi belum yang itu, tergabung dalam sejarah kebahagiaan semu.
Semoga kita semua tetap dalam aliran sejarah manusia pembawa rahmat bagi semesta alam. Tetap terjaga kemesraan kita dengan Tuhan, kedaulatan atas diri sendiri, ketekunan dalam membangun pondasi hidup yang tahan terhadap banjir globalisasi, gempa modernisasi atau tsunami revolusi industri dengan mempelajari kembali warisan-warisan nenek moyang kita dan ayat-ayat-Nya. Dan tentunya, sebisa mungkin, semoga kita tetap telaten dalam menapak jalur rezeki yang bernama sandang-pangan-papan itu.